Mengenal Quran tentunya sudah dari kecil, aku terlahir dari keluarga yang mengerti Al- Quran dan memahami kewajiban islam.
Saat kecil, aku sudah terbiasa dengan banyak orang yang mempelajari Al- Quran di rumahku sendiri. Dan kakaku yang pertama pernah mengajarkan aku nada- nada indah dalam membaca Al- Quran (Qori). Sehingga, dengan keadaan lingkungan yang seperti itu, kebiasaanku untuk mempelajari dan membaca Al- Quran pun seolah berjalan dengan semestinya.
Lalu sejak kapan aku menghafal Quran?
Ketidak sengajaan itulah awal mula aku menghafal Al- Quran. Saat masuk ke Dunia Smp/ Mts, aku sekolah di salah satu pesantren milik Alumni pondok terbesar di indonesia, Gontor. Tepatnya di kecamatan mandalawangi, pandeglang, Banten, itu dia Pesantren Modern Daar El- Falaah. Di SMP itulah aku belum mengenal Menghafal Quran. Bahkan, saat ada persyaratan dari pihak pesantren saat hendak perpulangan semesteran, yaitu menghafal surat- surat pilihan. Tau tidak kalian, yang aku kerjakan agar bisa liburan bukan menyicil hafalan. Tapi mentraktir teman yang mau menyetor hafalan untuk mendapatkan tanda tangan ustadz pada kertas setoran miliku. Dahsyat bukan? Tapi jangan dicontoh ya👧.
Namanya juga ketidak sengajaan. Bermula dari sinilah, Saat itu entah kenapa hati kecilku ingin sekali masuk Aliyah/ SMA yang ada di kabupaten Kuningan, jawa barat. ya, itu dia Pondok Pesantren Husnul Khotimah. Mungkin alasan aku berniatan masuk Husnul Khotimah salah satunya karena melihat Kaka keduaku yang juga Alumni Husnul Khotimah. Entahlah, jika kupikir- pikir lagi kenapa aku mau masuk Husnul Khotimah, aku sendiri tidak bisa menjawabnya. Mungkin sebuah takdir dari Allah agar aku berusaha menjadi manusia yang kuat, mandiri, dan juga berwawasan islami, eaaaa.
Kakaku bertanya "sudah punya berapa juz hafalannya," dengan santainya aku menjawab, "Juz amma aja belum selesai,"
Dua hari sebelum menjelang tes masuk Husnul Khotimah, kakaku menjemputku ke Daar el Falaah. Di dalam angkot, sepanjang perjalanan dari Madalawangi ke serang aku disarankan untuk menghafal surat- surat yang belum kuhafal. Hmmm...., diam ketika di angkot aja mabok, apalagi ngafalin Al- Quran. kontan, detik itu pun kepalaku pusing dan juga mual.
Sore harinya, aku tidak segera pergi ke jakarta, karna tes masuk Husnul khotimah aku memilihnya di jakarta, tepatnya di SMA al- azhar jakarta. Oya, sebelumnya aku mau kasih tahu, bahwa tes masuk Husnul khotimah ada di beberapa daerah di indonesia, bahkan di manca negara. Sore hari aku masih berada di serang, dan malam harinya baru berangkat bersama paman, sepupu, dan kakaku dengan bis jurusan serang tanggerang. Selama perjalanan serang - tanggerang, lagi dan lagi, kakaku menghimbauku untuk menghafal juz Amma yang belum tuntas kuhafalkan.
Sesampainya di rumah paman yang berada di tanggerang, aku akhirnya terhindar dari hafalan Quran yang menurutku asing saat itu, segera kupejamkan mataku agar tidak dianjurkan untuk menghafal lagi.
Pagi harinya tes pun dimulai. Saat itu aku berada di kursi terdepan. Hmmmm...., "Soalnya bikin mual semua," kataku saat ditanya oleh paman setelah keluar dari ruangan tes.
"Gimana, mau coba tes langsung Aliyah gak(tes bahasa Arab)?" mataku melotot saat pertanyaan itu keluar dari mulut kakaku. "Soal matematika aja bikin mual, apalagi bahasa arab" gerutuku dalam hati. Tapi karena aku tipe adik yang penurut (hehehe), aku akhirnya duduk manis di barisan ribuan manusia yang ahli bahasa arab. Setelah itu, tes Qur'an pun berlangsung. Tau tidak kawan..., di depan ustadz yang mengetesku, aku hanya bisa tersenyum manis semanis senyumku yang sudah ada sejak lahir. Saat itu yang kujawab hanya dua dari lima pertanyaan yang ada. Huh, sebuah pengalaman yang masih terbayang sampai sekarang.
Foto : kls perogram keagamaan angkatan 19 Putri
Hmmmm...., abaikan saja pengalaman tes masuk Aliyahku saat itu. Karena kisahku di Husnul khotimah lebih menarik dari yang dikira. Aku masuk Husnul Khotimah bukan karena kepintaranku dalam tes saat enam bulan yang lalu, aku yakin itu, aku percaya diterimanya aku di Husnul Khotimah karena kakaku yang pintar saat menjadi santri di sana. Huh, kaka beradik juga hanya sama dalam satu rahim saja, tapi potensi dan sifat, seperti Langit dan bumi perbedaannya. .....
Empat tahun aku di Husnul khotimah. Selama satu tahun masa pengenalan pesantren, bahasa, dan juga hafalan Quran, aku tidak mengerti apa yang dirancang oleh lembaga yang ku masuki itu. Diwajibkan bergamis, menggunakan kaos kaki saat keluar area putri, dan juga berkerudung selebar bahu, serta santrinya berlomba- lomba dalam menghafal Quran. Hanya juz Amma yang kuhafalkan saat masa pengenalan satu tahun tersebut (I'dad). Tidak lebih dan tidak kurang.
Saat memasuki kelas Aliyah, aku memilih jurusan Keagamaan. di Husnul khotimah, ada tiga jurusan untuk tingkat Aliyah, Keagamaan, Ipa, dan juga Ips. Aku memilih jurusan tersebut bukan karena aku hebat bahasa arab atau mahir dalam bidang agama. Tapi, jika dilihat dari ketiga jurusan yang ada, hanya jurusan itu yang lumayan kuminati pelajarannya. ingat, hanya lumayan bukan ahlinya.
Tiga tahun dibangku Aliyah, aku selalu istiqomah memilih kelas reguler dalam kategori menghafal Quran. di Husnul khotimah, ada tiga kategori dalam menghafal Al- Quran, pertama kategori Reguler, dimana para santri jika ingin lulus Aliyah atau hendak mengambil ijazah harus menyetorkan Lima juz Al- quran dan juga ujian Qurannya, baik itu ujian dengan metode menyetorkan langsung lima juz Al- Quran dan juga meneruskan hafalan yang dibimbing oleh pengujinya, yang kedua yaitu kategori takhosus, kategori ini kebanyakan yang hafal 15 juz keatas saat diwisuda, keren kan. dan yang ketiga, kategori yang baru ada sejak aku naik ke kelas 12, yaitu super takhosus, dimana kategori ini diwajibkan hafal 30 juz saat diwisuda, dan kategori ini memakai selempang saat diwisuda dengan tulisan, "Santri Hafidz/Hafidzah," istimewa bukan?
Iya sangat istimewa, aku yang baru bisa ujian lima juz Al- Quran dari belakang hanya menelan ludah, mungkin kalian bertanya, Apa ada rasa iri dibenak aku? Ya pasti ada, iri dalam kebaikan. Tapi aku mencoba menghibur hati dengan bergumam... "hmmm, udah biasa jadi orang yang selalu dibelakang".
Itulah alasan kenapa aku menghafal Quran, yaitu ketidak sengajaan diiringi dengan keterpaksaan lingkungan yang mengharuskan aku menghafalnya. Jika tidak dipaksa, mana mungkin aku mau menghafal Quran. Malas, susah, enak maksiat, dan juga keadaan zaman yang semakin hari semakin mengikis keimanan seseorang.
Kalau tidak ada ketidak sengajaan, ya tidak akan ada cerita kenapa aku menghafal Al- Quran.
Kalau tidak ada paksaan untuk menghafal Quran, ya tidak akan banyak penghafal Al- Quran yang tersebar di muka bumi.
Kalau tidak ada penghafal Quran, ya Sudah, mau dibawa kemana Agama islam ini.
Salam hangat dari aku penulis amatiran.
See you next time.
Alhamdulillah termotivasi , berawal dari Terpaksa , terbiasa , insyaallah bisa.
BalasHapus