Sabtu, 22 Juni 2019

Setumpuk Khayalan


Menjadi penulis memang impianku sejak dulu, namun kadang Impian tidak sejalan dengan apa yang sering dilakukan setiap hari. Malas, mengalihkan pekerjaan kepekerjaan yang lainnya, dan terkadang lebih banyak dihabiskan tidur maupun jalan- jalan dari pada Menulis.


“ Roha ayo ngaji yuk” Suara kaka seniorku di pesantren mulai beraksi setiap selesai sholat Isya. Kulangkahkan kaki untuk segera berangkat ke Masjid agar tidak terkena Imbas yang panjang dari Seorang senior yang ada di pesantren yang kutempati sekarang.

Sesampainya di Masjid kulihat sekitarnya belum ada siapa- siapa yang datang. Pondok enam Baiturohim ketika datang lebih awal selalu belum ada Orang di Masjid, namun ketika orang lain yang datang lebih awal Pondok enam selalu terlambat atau orang lain menyebutnya dengan “Jam karet”.

“Mana nih yang lainnya” Suara Desi lantang menanyakan pada ketua Pondok umum. Pondok enam memang banyaknya semester dua atau bisa dikatakan anak baru semua, namun keberaniannya mengalahkan kebanyakan santri pada umumnya. Tidak takut dan tidak juga mencari muka di depan Ustadz maupun Senior yang ada.  Pondok enam memang apa adanya, malas ya terlihat malas, nakal ya terlihat nakal, rajin ya terlihat rajin, tidak kebanyakan santri yang banyak mencari muka didepan Publik namun kenyataannya lebih sadis dari yang dikira.

“Burung- burung” Suara Rani mengagetkanku dari lamunan.

“Tolong- tolong” Sontak suaraku meninggi saat orang- orang menunjuk ke arah punggungku. Akupun berdiri dan segera mengibas- ngibas kerudung, namun Burung greja tetap saja menempel pada kerudungku.

“Ini dia” Ucap kak Tama sembari menyodorkan burung greja yang telah ia ambil dari kerudungku. Aku segera mengambilnya dan melepaskannya untuk terbang ke udara.

“Ih aneh banget nih orang” Omelan Dila menyambar kearahku setelah aku melepaskan burung greja tersebut.

“Untuk apa dipelihara? Toh dia pun makhluk hidup yang harus mendapatkan kebebasan  tanpa adanya kekangan dan juga paksaan” Jawabku ke arah Dila.

Satu persatu gosip pun Kami bahas di depan teras Masjid, pekerjaan kami saat semua santri belum datang ya bergosip ria atau pun menceritalan masa lalu yang jarang sekali orang lain alami.


Ini dia ceritanya....

Suatu hari

“Jni nih ada tiga anak burung yang saya dapat dari kebun” Suara paman datang dari arah pintu menuju kearahku ,Iha, dan Rohmah.  Aku segera melihat apa yang paman sodorkan dan  mengambil tiga anak burung yang telah nampak dihadapanku. Iha yang umurnya tertua di antara kami segera mengambil anak  burung yang besar, aku yang tertua kedua mengambil yang sedang, dan Rohmah yang paling muda mendapatkan anak burung yang kecil.

“Ini makannya apa ya?” tanyaku pada paman.

“Beras dipotong- potong kecil” jawab paman asal.Segera kuambil sesendok beras dan tidak lupa kuambil segelas air untuk burung minum.

“Buka mulutnya buka” ucapku seraya menyodorkan potongan beras ke mulut burung. Anak burung yang malang itu pun tidak bisa berbuat apa- apa, lima menit sekali kami bertiga menyodorkan makanan ke arah burung, Diberikan tempat tidur, dimandikan layaknya manusia mandi dengan memberikannya sabun baby dan juga samponya.

“Gimana kalau abis ini kita beri pewarna makanan” pinta salah satu dari kami. Kuambil sepuhan (pewarna makanan bubuk) tiga warna, hijau, merah, dan juga oranye.

“Lucu kan punyaku, iha lihat” teriaku pada iha. Ia juga melakukan hal yang sama dengan memberikannya warna hijau pada sayap burung.

Beberapa jam kemudian.

“Loh kok burung miliku diem aja” ucapku pada rohmah.

“Bangun dong burung bangun, belum waktunya kamu tidur tau” omelku pada burung.

“Ayo jagoan kecilku bangun” suaraku semakin lantang seraya menggerak- gerakan sayap burung yang masih basah oleh sepuhan. Karena anak burung miliku tidak segera bangun setelah kugerak- gerakan sayapnya, maka akupun segera menjemurnya di bawah matahari.

“Mungkin dia kedinginaan” kataku dalam hati. Beberapa menit kemudian pamanku datang dari dapur.

“Yah, inimah mati” suara paman mengagetkanku saat itu juga. Sedih karena anak burung peliharaanku mati di tempat yang sama, dan rasa iri pada Iha dan Rohmah karena burung kecil miliknya masih bertahan hidup walaupun gerakannya tidak selincah ketika pertama kali datang dari kebun.

Siang berganti sore dan begitupun seterusnya, hari- hariku diisi dengan bermain, berbicara sendiri, dan juga menyun semua ide- ide sederhana yang kutuangkan lewat bermain boneka, masak- masakan dan juga sekolah- sekolahan. Setiap sore hari selalu datang dua tetangga yang umurnya jauh lebih muda dariku untuk mengikuti kegiatan apapun itu  yang tertuang dari imajinasiku.

“Ini bapak Budi”

“Ini bapak Budi” ucap Tia dan Salsa yang mengikuti perkataanku. Itulah yang kukerjakan saat libur Madrasah Ibtidaiyah di sore hari, ya  menjadi guru untuk tetangga yang lebih muda atau guru untuk koleksi boneka- bonekaku yang ada.

“Apakah kamu sudah mengerti nak?” tanyaku pada boneka beruang.

“Baiklah jika kamu sudah mengerti kita lanjutkan kepembahasan selanjutnya” ucapku  menegaskan.

Malam semakin larut namun santri yang ada di Masjid Baiturohim masih juga tidak bertambah jumlahnya, jam sembilan malam biasanya santri sudah banyak yang berdatangan di sekitar masjid, tapi kali ini tidak, hanya santri Pondok enam Baiturohimlah yang datang ke Masjid.

“Kita rajin aja gak ada kajian, pas kita males ada kajian, serba salah ya” ucap nunu dengan gayanya yang tidak enak dipandang mata. Tapi walaupun semuanya kesal dengan keadaan, tidak berarti kami segera pulang ke Pondok, namun kami melanjutkan kembali cerita masing- masing diri saat kecil dulu.

“Kalian tau bepe gak” tanyaku mengawali tema cerita  selanjutnya.

“Aku tau aku tau, Favorite kalian bepe yang mana?” ucap nunu menanyakan pada santri yang ada.

“Lingling, yang kecil trus rambutnya merah” jawabku dengan lantang. Ya lingling merupakan bepe yang paling aku favoritkan saat kecil dulu, peran lingling dalam imajinasiku, gadis kecil yang selalu dibuly oleh kaka- kakanya, karena cintanya aku terhadap lingling, sudah puluhan kali aku membeli bepe tersebut dan terkadang  juga aku menyambungkan tubuh dan kepalanya yang potong dengan tiga butir nasi yang kutempelkan agar menyatu kembali.

“Kalian pernah masak- masakan pake tanah gak sih”  tanya nanda mengawali percakapan yang ada.

“Pernah dong, pokoknya peralatan masaknya kan terbuat dari plastik” ucap Dila menambahkan.

“Zaman kita tuh masa kecil yang menyenangkan, gak kaya sekarang, berubah 180° dunia anak- anaknya” ucapku kemudian.

Dunia 90 – an memang masa- masa indah, dimana anak kecil berperan pun layaknya anak kecil, penuh dengan khayalan yang sederhana namun sangat bermakna, penuh dengan imajinasi yang dihadirkan melalui alam sekitar bukan dengan sosial media yang merusak dunia pendidikan.

Kuterka kembali masa- masa kecil dulu, masih terbayang bagaimana perasaanku saat anak burung pipit mati setelah kumandikan dan kuberi warna dengan pewarna makanan.

“Kok bengong, mikirin apa sih kamu ha” tanya teman sebangkuku saat jam pelajaran pertama di SDN Kutamekar 2.

“Kasihan anak burung itu” jawabku asal.

“Oh yang kemarin itu kan, aku juga liat kok kamu kasih warna kan anak burungnya?” tanyanya lagi.

“Kok kamu tau sih” ucapku curiga padanya.

“ya taulah, kan kemaren aku belanja di warungmu, trus gak sengaja deh liat kalian bertiga didepan teras kamu loh” suaranya dan ekspresinya yang kulihat sangat tidak menyenangkan.

“Kalau iya kenapa?” tanyaku membentaknya.
“Santai dong tuan puuteeeeeri” ucapnya seraya pergi dari hadapanku.

Jam berputar dengan ketentuan waktunya, jam istirahat selesai dan selanjutnya jam pelajaran dimulai. Kali ini pelajaran Bahasa Indonesia dan diajar oleh Bu Eem Nurhayati. Bu Eem adalah guru favoriteku di SDN yang pernah kutempati, dimana Bu Eem adalah guru yang paling sabar menghadapi kenakalan teman- temanku yang laki- laki, dan sabar saat menghadapi Siswa siswi yang kurang dalam pemahaman materi yang diajarinya.

“Jangan lupa ya PR nya dikerjakan” pinta Bu Eem padaku dan teman- temanku. Jam pelajaran berakhir, namun kali ini aku malas untuk beranjak dari kelas, sampai sepupuku yang sudah menginjak kelas lima Sekolah Dasar datang menghampiriku.

“Mau pulang sama siapa?” tanyanya padaku.

“Jalan kaki bareng temen- temen” jawabku asal.

“Loh itu basah kenapa?” tanyanya heran padaku setelah melihat rok merahku basah kuyup oleh ompol. Itulah pengalamanku saat kelas satu SD, pernah tiga kali buang air kecil di dalam kelas, setiap kaka sepupuku menanyakan padaku, aku selalu menjawabnya “tidak tau”. Namanya juga anak kecil, dimana saat itu sifatku pemalu dan super introvet, aku tidak pernah berbaur dengan seumuranku, baik itu untuk bermain karet, bermain kelereng, ataupun bermain boneka dan juga masak- masakan. Hanya di dalam kelas aku memiliki teman bermain, itu pun karena aku Paling menonjol baik itu dalam belajar ataupun rapihnya pakaian.

“Oh jadi kamu pernah ngompol di dalam kelas ha” kata Dila menoleh padaku.

“Iya dong”jawabku bangga.

“Iuh, pernah jorok juga ya lu ha” ungkap Dila kemudian.

Malam begitu larut, hingga tidak terasa waktu menunjukan pukul 11 malam. Aku dan santri baiturohim lainnya segera beranjak untuk pulang ke pondok masing- masing.

Sesampainya di dalam kamar, tiba- tiba mataku susah untuk memejamkan mata. Pikiranku masih terbayang pada masa kecil yang memalukan mata. Pernah suatu hari, saat ibuku menyuruh untuk solat duhur, aku hanya mengambil wudhu, mengambil mukena yang ada di ruang keluarga, lalu masuk ke dalam kamar. Sesampainya di dalam kamar, yang kulakukan bukanlah solat duhur, tapi hanya diam mematung, dan terus terdiam.

“kira- kira udah sepuluh menitan belum ya” pikirku dalam hati. Itulah yang kulakukan saat kecil ketika ibuku menyuruh solat.

Hmmm....

“Lucu ya” getirku dalam hati. Kulirik jam menunjukan ke angka 1 dini hari, semakin malam mataku terbuka, semakin malam juga mataku untuk terpejam. Kubuka laptop yang ada di atas lemariku, kutulis kata demi kata kisah- kisahku yang belum tuntas dituliskan di halaman blog pribadiku.

Setelah selesai kutulis, kulirik jam telah menunjukan pukul 2 dini hari.

“selamat istirahat mata, semoga ribuan mata yang membaca tulisan ini tidak pernah bosan dengan suguhan tulisan ini yang sudah lama membosankan mata”

See you next time....





5 komentar:

  1. 😂.... konyol dan membanggakan....sebuah cerita yang tidak dialami anak2 zaman sekarang ....bersyukur atas apa yang telah kita jalani di zaman bisa dibilang 90 an...dimana masa yang selalu ku rindukan hingga saat ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. kita cuma bisa cerita ke mereka yang lahir di zaman sekarang, udah gak bisa lihat anak anak main kelereng, tali, bepe, engkle dan sejenisnya.

      Hapus
  2. Jadi pernah ngompol di kelas ha, wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahhaahaa..... iya dong, bangga banget ya.

      Hapus
  3. Terima kasih sudah mengunjungi blog ini

    BalasHapus

Tidak Sekedar Cerita

1 Muharam

 Apa yang kamu ketahui tentang 1 Muharam. Tahun baru Islam? Atau apa ? Makna 1 Muharam bagi semua umat Islam merupakan Tahun Baru Islam atau...