
Foto : Abah & Ibu saat melaksanakan Haji tahun 2015
“Astaghfirullah”
Suara hatiku biasa mengucapkan kata tersebut, ya... bagaimana tidak mengucapkannya, karena setiap mencoba untuk tidur, bayangan wajah abah terbayang terus- menerus. Apalagi senyum wajahnya saat dimandikan terakhir kali terbayang jelas olehku sendiri. kebetulan, saat memandikan jasad abah, aku pun ikut serta memandikannya “tepatnya di antara pusar dan lutut” bagian tubuh abah. Selain itu, yang terbayang setiap hendak tidur ialah saat terakhir kali dokter mencabut peralatan yang menempel ditubuh abah. Saat itu aku baru selesai solat subuh yang kesiangan karena malamnya begadang sampai jam setengan empat dini hari. “kenapa dokter mencabut oksigen yang abah gunakan”, pikirku saat itu. “loh kok dada abah ditekan- tekan, kenapa sih, ada yang salah”, tanyaku pada diri sendiri saat itu juga. Dan aku baru sadar saat mendekat ke wajah abah, dan dokter membisikan ke telingaku “talkinin”. Selang beberapa menit kaka keduaku datang, ia segera meraba tubuh abah, “masih hidup kok” katanya seperti tidak nyakin dengan keadaan yang demikian. Setelah benar- benar abah tiada, aku bergumam, “seriusan nih udah meninggal, apa Cuma bercanda doang sih dokter”.
Didalam ruangan rumah sakit yang abah tempati, yaitu dirumah sakit Ajidarmo, rangkas bitung, lebak,banten, suasana berubah menjadi sepi. Bukan berarti suasananya sepi, namun perasaanku sendiri yang sepi. “jangan nangis, aku bukan anak yang biasa nangis didepan abah”, gumamku dalam hati. Kulihat keluargaku, tidak ada seorang pun yang hadir diruangan itu, hanya aku yang berdiri kaku di depan jasad abah.
“Mana kaka Hafidz” kataku seraya menengok ke sekeliling ruangan rumah sakit.
“Ibu juga gak ada lagi” ucapku kemudian, namun hanya dalam hati.
Agar tidak bingung dan tidak tau harus berbuat apa diruangan yang hanya ada aku dan jasad abah, ku ambil Qur’an syamil milik ibu,
“yasiiiiiiin”
“wal Qur’anil Hakim”
“Ya Allah, aku bukan lagi mengaji didepan abah yang sedang sakit, ini jasad abah, inget ha.... INI JASAD ABAH” kata hati kecilku yang terus mengaji walaupun sedikit demi sedikit air mata jatuh dari sisi kedua kelopak mata.
“Jangan nangis” suara ibu tiba- tiba muncul dibelakang punggungku. Kulihat wajah ibu, seperti banyak beban yang tersirat diwajahnya, lalu ibu membisikan ditelinga kananku, “ikhlaskan aja abahmah, tenang biaya kuliahmah ada ibu”.
Ibu selalu berpesan pada siapapun, jika sedang menghadapi mayat, jangan coba- coba nangis apalagi sampai histeris. Entahlah apa akibatnya jika seseorang nangis didepan mayat yang dihadapinya.
Foto : Rumah Sakit Ajidarmo, Rangkasbitung, lebak, banten.
Abah, ya kepergian abah tepatnya saat orang- orang asik merayakan tahun baru islam, 1 muharram 1441 H. Kalau kata orang yang tidak tau sejarahnya, “gak nyangka ya meninggal”, entahlah kenapa orang lain mendefinisikannya begitu. Tapi bagiku, kepergian abah merupakan hal yang sangat membekas di ingatanku, satu tahun ibu berjuang merawat abah dari bangun tidur sampai bangun tidur lagi. Siang dan malam tidak pernah lelah ibu merawat abah seorang diri di rumah, dan kadang ditemani adik- adik ibu yang rumahnya masih dekat dengan rumahku, dan sering juga ditemani kaka pertamaku yang tinggal satu kampung.
“Pokoknya jangan dirawat di serang lagi”, ucap kaka pertamaku pada ibu saat abah hendak dirawat pasca tubuhnya susah untuk digerakan.
“kenapa emang gak boleh di serang”, tanyaku hati hati pada Ati( panggilan untuk kaka pertamaku). Ia hanya diam tidak menyahut pertanyaanku, seperti ada trauma pada gerak- geriknya.
“ya sudahlah”, kataku kemudian.
“padahal enak ya kalau diserang, aku paginya bisa jagain abah, lalu setelah dzuhur bisa berangkat ke kampus”, ucapku dalam hati.
Kampus – Rumah sakit, dulu saat pertama aku duduk dibangku kuliah yang sekarang kutempati, aku selalu bolak balik antara rumah sakit dan kampus, karena saat itu, abah dirawat di rumah sakit selama dua minggu lebih. Pagi hari Berangkat dari rumah sakit ke kampus, pulang dari kampus ke rumah tante untuk mencuci baju abah + keluarga yang jagain abah, lalu setelah itu pergi ke rumah sakit lagi sampai esok pagi, gitu dan gitu. Sampai saat ada tugas kelompok pun, aku mengerjakannya dirumah sakit, “bagi aja ya tugasnya, besok kita satuin” itu yang sering kulobi pada teman yang sekelompok denganku, makasih ya kalian.
“kenapa sih teteh kalau pulang kuliah langsung cepet- cepet pengen pulang aja, gak pernah ngobrol atau ngongkrong dulu sama yang lainnya”, tanya salah satu teman kelasku saat aku menjadi mahasiswa baru.
“gak kenapa- napa, aku gak suka nongkrong orangnya”, jawabku bohong padanya. Kalau dipikir- pikir perkatanku barusan, sangat bohong, karena sejatinya aku sangat menyukai gosip, nongkrong, dan kumpul dengan teman- teman lainnya. Tapi apalah kondisi saat itu tidak membolehkannya.
Foto : Ambulans yang membawa Abah ke rumah
Sakit, semua orang pasti merasakan sakit. Entah sakit apapun itu, bahkan sakit hati pun semua orang pernah merasakannya. Sama seperti istilah “ditinggalkan dan meninggalkan”, kalau kita tidak meninggalkan orang yang dicinta, kita sendiri yang akan ditinggalkannya, walaupun aku tidak suka kedua- duanya.
“udah bah jangan diberat- beratkan, kalau mau pergi mah pergi aja, tenang Rohati mah tanggung jawab saya”.
“maafin saya ya bah kalau ada salah, maafin saya”
Kuputar badanku saat kudengar perkataan kaka pertama didepan tubuh abah yang tidak berdaya, “huuh huuh huuh huuh”, hanya suara nafas sesak yang keluar dari diri abah. Tidak ada perkataan sedikitpun, bahkan reaksi wajahnya saat mendengar ucapan kaka pertamaku hanya diam dan sedikit mengeluarkan air mata di kedua kelopak matanya.
“O iya aku lupa, aku ini perempuan, nanti kalau abah gak ada, wali hidupku bukan abah lagi, melainkan kedua kakaku”, kataku dalam hati seraya mencegah air mata yang sudah tidak kuat lagi kubendung.
“Nasib anak bungsu gini ya”, gerutuku dalam hati, namun kemudian kutepis pikiran jelek tersebut untuk tidak dijadikan keluhan yang mengakibatkan diri ini tidak bersyukur pada Allah atas semua nikmat dan karunianya.
“Jagain dulu ya bentar, ngaji aja nih disini”, ucap kaka pertamaku seraya mempersilahkan aku untuk duduk dikursi yang baru saja ia duduki.
“ngaji aja di telinganya”, lanjutnya menyarankan padaku, kuatur posisi duduk seenak mungkin agar tidak terasa pegal dan juga bosan. Saat mengaji, kuperhatikan wajah abah, tidak berdaya, benar- benar tidak berdaya. “jadi ini ya laki- laki pertama yang menemuiku saat membuka mata pertama kali didunia, sekarang beliau tidak berdaya dan juga tidak mampu apa- apa”, ucapku sambil terus memperhatikan wajah abah.
Abah, atau kalian memanggilnya berbeda denganku, Bapak, Ayah, Abi, Baba, Papa,papah, mama, Dady, Papih, atau apa pun itu panggilannya, yang pasti seorang Ayah itu dimata anak perempuannya ialah seorang laki- laki yang cintanya tulus tanpa terhalang oleh apapun. Cinta seorang Ayah merupakan cinta yang tidak dikeluarkan melalui kata- kata, namun disalurkan oleh logika.
Didalam rumah sakit ini, sudah dua hari abah berada disini, jumat dan sabtu. berbeda denganku dan juga kakaku yang kedua dan juga istrinya, aku dan kaka kedua baru seharian berada ditempat ini, maklum aku sebagai anak kuliahan yang harus menyelesaikan kuliah terlebih dahulu dari senin sampai jumat, sedangkan kakaku seorang guru yang juga harus sibuk dengan tugasnya dari senin sampai sabtu.
“Mau sampai kapan di rumahnya” tanya kakak padaku saat jenazah Abah hendak dimasukan ke dalam Ambulans.
“Seminggu kayaknya”, jawabku datar.
Hari ini hari minggu, dimana hari ini Abah menghembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Setelah selesai administrasi pada dokter dan meminta surat keterangan meninggal, jenazah Abah didorong dan dimasukannya ke dalam Ambulans.
“Ibu ikut mobil siapa ya”, tanya ibu seperti orang kebingungan.
“Ibu ikut Ambulans aja bareng Ati, Paman dari ibu, & paman dari Abah” saranku padanya.
“Trus yang nemenin Kaka Hafidz siapa” tanya ibu kemudian.
“Udah kita berdua juga InSya Allah aman bu” ucapku menyakinkannya.
Di dalam perjalanan, sebisa mungkin aku terlihat baik- baik saja, padahal sebenarnya aku merasakan rasa takut dan adanya rasa khawatir pada kakak karena takut tidak fokus saat mengendara.
“Oha jangan lupa temenin Aa Hafidz ya” itu saran kaka iparku yang kedua dibalik pesan What app. Segera kubalas pesannya agar tidak ada kekhawatiran yang berlebihan. “bilangin ke Aa Hafidz, kita juga berangkat sekarang dari cilegon”katanya lagi setelah sepuluh menit berlalu pesan yang kubalas diterima olehnya..
“SELAMAT DATANG DIKOTA PANDEGLANG” plang besar terlihat olehku tanpa terasa, saat itu pun segera kuchat teman – teman kampusku bahwa aku tidak akan masuk perkuliahan selama seminggu, “punya nomor semua dosen semester ini gak?” tanyaku pada mereka. Satu persatu teman kampusku yang menyimpan nomor Dosen segera mengirimkannya. Setelah itu, kuperiksa pesan lain yang masuk pada what app milikku dan juga pada what app yang ada di hand phone kakak.
“nyantai aja kak”, pintaku pada kaka. Biasanya, saat perjalanan berdua dengan kaka, aku selalu mendengarkan lagu- lagu hits yang di Cover ke versi Islaminya, namun kali ini tidak mendengarkan music- music apapun, bahkan murotal pun enggan aku mendengarnya.
“Awas tuh kakek kakek mau nyebrang”, kataku mengingatkan kaka. Kali ini mataku hanya fokus ke depan agar perjalanan baik- baik saja.
“wadaw, nyantai aja kak”
“dianya yang salah main serobot aja tuh”
“hadeh dasar ibu – ibu ya kalau mengendara”
“Awas tuh didepan ada lubang”
Dari perjalanan rangkasbitung – Sobang, pandeglang, mataku hanya fokus ke depan dan mulutku siap mengingatan kaka saat ada apapun itu yang menggganggu perjalanan kami berdua. Saat perjalanan hendak sampai ke rumah, Hand phoneku selalu bergetar, “udah sampe mana?” tanya kaka pertamaku di balik pesan suara.
“sampe SD, kenapa emang?”
“enggak kenapa- kenapa. Yaudah pelan- pelan aja bawa mobilnya”
Beberapa menit kemudian kaka pertamaku menelphone kembali, “sampe mana nih sekarang?”
“gak tau ini sampe mana, sukarendah kayaknya”
“owh, yaudah hati hati ya, pelan- pelan aja bawa mobilnya”, katanya mengingatkanku dan kaka.
“Yaudah tanya coba emang ada apa gitu?” ucap kaka keduaku saat ada telphone ke delapan kalinya dari kaka pertama.
“Enggak kenapa- kenapa, nungguin aja soalnya Abah mau di mandiin”, jawabnya pelan.
“yaudah mandiin aja gitu duluan”, jawab kaka keduaku pada Ati (kaka pertama).
Foto: jenazah Abah saat hendak diantarkan ke tempat peristirahan terakhirnya.
Jalanan sake – kacapi, sekitar 10 km masih sangat rusak, jalanan berlubang mengganggu pengendara yang lewat, apalagi jika pengendara tersebut belum hafal dengan rute jalannya.
“kapan ya jalan kita di Aspal?” ucapku memulai percakapan kembali dengan kakak.
“Dari sebelum SD sampai sekarang pun belum maju- maju ini jalan” kataku meneruskan perkataan.
“mending sekarang mah, dulumah jalannya penuh lumpur hampir selutut orang dewasa” katanya padaku.
Percakapan demi percakapan tidak terasa berjalan dengan lancar, sampai tidak terasa mobil yang aku naiki sampai didepan rumah.
“Busyet banyak banget ini orang, TUMBEN”, gumamku dalam hati. Setelah mobil diparkirkan didepan rumah tetangga, kucoba turun hati- hati dari mobil, spontan semua orang yang ada didepan rumah melihat ke arahku semuanya.
“Assalamu’alaikum” ucapku pada semua orang yang hadir dirumahku.
“Walaikumsalam” Semuanya serempak menjawab salam.
“Aduh lewat mana ya bingung” kataku dalam hati seraya mencoba masuk ke dalam rumah. Sesampainya di ruang tengah, kulihat banyak santrinya Bibi sedang mengaji di depan jasad abah.
“Udah dimandiin belum bu?” tanyaku pada ibu.
“Belum” jawab ibu.
“Pokoknya Rohati harus ikut mandiin ya, harus mandiinnya dibagian “antara pusar dan lutut”, jangan lupa” kata ibu kepadaku.
“kenapa harus dibagian itu bu” tanyaku tidak faham dengan apa yang ibu ucapkan.
“Pokoknya harus, entar juga tau sendiri” jawab ibu menyakinkan.
Ternyata, entah mitos atau apa itu, aku tidak mengerti, “yang memandikan jasad orang tuanya tepatnya di bagian “antara pusar dan lutut” rezekinya dimudahkan”, entahlah, kurasa itu hanya mitos belaka. Namun saat itu aku mengiyakan saran ibu, karena bagaimana pun ini kan yang meninggal Abahku sendiri, dan aku yang menjadi seorang anak kewajibannya untuk mengurus jasadnya yang hendak dimandikan sampai diantar ke liang lahat.
Kulihat beberapa orang yang hendak memandikan jasad Abah, semuanya masih sanak saudara Abah, adik perempuannya, adik laki- lakinya, keponakannya atau sepupuku sendiri, dan kedua kakaku juga hadir serta. “hanya satu orang yang bukan dari sanak keluarga”.
Adik perempuan terakhir Abah yang mengurusi bagian kepala, kakak- kakaku yang membersihkan bagian badan Abah, dan aku yang “Khusus” membersihkan bagian antara pusar dan lutut, serta saudara Abah yang lainnya bagian lutut sampai kaki.
“Cuci muka dulu”, sergah adik terakhir abah padaku saat aku hendak keluar dari tempat memandikan jasad Abah . Aku yang memang belum pernah memandikan mayat sebelumnya hanya nurut saja apa yang bibiku perintahkan, walaupun dalam hati kecilku bertanya- tanya, “emang kenapa ya harus cuci muka dulu”.
“Kita sekarang cuci pakaian dan kain bekas Abah di rumah sakit ya” Bibi yang paling bungsu menariku kembali ke tempat pemandian jasad Abah.
Setelah selesai mencuci dan membereskan pakaian yang semula dipakai Abah saat sakit, aku diajak kembali oleh Bibi untuk ikut mengkafani Abah. Saat mengkafani, aku hanya memperhatikan kaka kakaku dan saudaraku saja, namun saudaraku yang lainnya mengajaku untuk ikut serta mengkafaninya.
“Kita bedakin ya” ucapnya padaku.
“siap” jawabku pelan.
Seumur- umur aku hidup 22 tahun didunia, baru pertama kali memandikan mayat dan juga mengkafaninya, walaupun di pondok Aliyah dulu diajari prakteknya, namun saat pelaksanaannya aku merasa menjadi seseorang yang masih awam tentang dunia memandikan dan mengkafani mayat.
“Gini ya ternyata mengurusi mayat”, gumamku pelan saat jenazah Abah telah selesai dikafani dan hendak disolatkan. Lalu aku berjalan ke arah dapur, disana terlihat beberapa piring yang sudah terisi makanan dan juga lauk pauk yang hendak dibagikan pada masyarakat yang datang ke rumah. Tradisi dikampungku memang luar biasa, apabila sanak Family meninggal, maka keluarga tersebut seperti sedang hajatan pernikahan ataupun khitanan. Makanan semuanya terhidang, mulai dari nasi beserta lauk pauknya, beberapa kue dan juga minuman pendampingnya, baik itu susu, kopi, ataupun teh manis, dan kadang juga tersedia indomie dan teman- temannya, begitu juga dengan tetangga yang datang ke rumah, ada yang tugasnya memasak, beres- beres rumah, atau pun yang datang hanya diam memperhatikan yang lainnya, yang penting ikut bergabung dengan masyarakat sekampung sepersaudaraan. Begitu juga dengan laki- laki, tidak kalah penting dari ibu- ibu yang datang ketempat tersebut, ada yang mengangkut air dari kali, ada juga yang mencari kayu bakar dari beberapa kebun masyarakat, dan ada juga yang datang hanya sekedar minum kopi dan mengisap rokok.
“Mandi dulu”, kata ibu menyuruhku untuk membersihkan diri ketika tanganku hendak mengambil ikan yang ada diatas piring.
“Aduh harus mandi lagi, aku kan gak bisa mandi dan bersih- bersih Cuma lima menit” gerutuku dalam hati. Mau tidak mau aku segera bergerak ke kamar mandi, saat sepuluh menit di kamar mandi, “tok tok tok, buru gak pake lelet”, itu suara kaka pertamaku yang kurasa,dia pun saat itu belum mandi. Aku hanya menjawab, “iya bentar lima menit lagi”.
Setelah ganti pakaian dengan gamis pemberian dari Abah saat pulang dari Makkah, Kulihat masyarakat yang hadir didepan rumah, “kok rata- rata asing yah orang- orang yang mau nyolatin Abah”, hati kecilku berkata.
“Mereka siapa sih, temannya kaka atau murid- muridnya Abah yang tinggal diluar kampung halaman, atau mereka sanak family yang gak kukenal” tanyaku pada diri sendiri.
“Allahu Akbar”
“Allahumaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu”
Saat selesai menyolatkan, kulihat kembali ruangan dimana Abah diletakan untuk disolatkan.
“What, sholat ronde kedua?, gimana gimana maksudnya” tanyaku pada sepupu yang berdiri disebelah kiriku.
“Ia sholat ronde kedua, ronde pertama masyarakat mukim, ronde kedua masyarakat pendatang, atau masyarakat dari luar kampung kita, dan ronde ketiga ialah paman yang baru datang dari jakarta” katanya menjelaskan padaku.
“Emang apa sih Hukumnya mensholatkan mayat” tanyaku dalam hati saat melihat pamanku yang baru datang segera mensholatkan Abah walaupun hanya berdua.
“Yasin”
“Wal Qur’anil hakim”
Suaraku bergetar saat terakhir kalinya mengajikan mayat Abah yang bentar lagi diantarkan ke liang lahat. Namun, sebelum dikuburkan, ada tradisi yang tidak akan kulupakan, bagiku ini adalah tradisi, tapi tidak tau sebenarnya apakah ini tradisi atau hukum mengurusi mayat yang sebelumnya belum kuketahui.
“Mana teh diah” tanya kaka pertamaku mencari istrinya.
Setelah istrinya datang, ia membisikan sesuatu ditelinganya. Saat itu juga kaka iparku yang pertama melepaskan perhiasan yang semula ia pakai, mulai dari perhiasan yang dipakai di leher, di telinga, di jari jemarinya, dan juga dipergelangan tangannya.
“Untuk apa?” tanyaku dalam hati seraya terus memerhatikan apa yang dilakukan kakaku dan istrinya. Kulihat setumpuk Emas tersebut dimasukan kedalam wadah yang sedang, lalu ditutup oleh kain hitam. Setelah itu, wadah tersebut berkeliling dari satu orang ke orang sebelahnya sampai berakhir ke orang dipenghujung lingkaran.
“Apakah jenazah Abah H.Sajim bin jasiman pernah mempunyai salah”
“Tidak”
“Apakah jenazah Abah H.Sajim bin jasiman layak untuk dikebumikan”
“Layak”
Begitu seterusnya saat wadah tersebut berputar sampai kepada orang terakhir yang hadir di rumah.
Foto : jenazah Abah saat hendak dikebumikan
Saat Menyaksikan orang yang sedang sakaratul maut, kita harus mentalkinkannya, lalu segera memandikan mayatnya, tidak lupa untuk ikut mengkafani, lalu mensolatkan jenazahnya, dan terakhir mengantarkannya sampai ke liang lahat, itu semua merupakan kewajiban seorang mu’min saat orang disekitarnya meninggal dunia. Itulah satu kalimat ilmu yang aku baca diperpustakaan PAI UIN SMH Banten seminggu setelah kepergian Abah.
“Lailaha illah”
“Lailaha illah”
Satu langkah demi satu langkah akhirnya jenazah Abah diantarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya, kulihat sekitar liang kubur yang telah disediakan untuk abah penuh oleh masyarakat mukim maupun pendatang. Baik itu bapak- bapak, ibu- ibu, tua muda, bahkan anak kecil pun ikut serta ketempat dimana Abah akan dikuburkan.
“Dede sini, jangan dekat- dekat”, aku menarik keponakanku yang pertama, namanya Akhmad Zainal Afifin, dia berusia sepuluh tahun dan sekarang sedang duduk dibangku kelas 6 sekolah dasar. Saat itu kenapa aku menariknya, karena aku teringat cerita ibu dan Abah saat nenek dari Abah hendak dikebumikan, “Ati (kaka pertamaku) pingsan karena tidak kuat melihat Ambu dimasukan ke dalam tanah”. Selain menariknya, aku pun menutupi kedua matanya, ia hanya diam dan terus diam. Namun segera kulepaskan kedua tanganku dari penglihatan matanya saat kulihat ia, “kayaknya dia mah kuat deh”, kataku menyakinkan diri sendiri.
“Tri turun adzan” kudengar suara paman memerintahkan kakaku yang pertama untuk mengadzankan Abah. Ia hanya diam, lalu menyuruh kaka keduaku untuk Adzan.
“fidz Adzan”
Hafidz kaka keduaku segera turun ke liang lahat dan segera mengadzankan dan membacakannya iqomat. Saat iqomat terakhir, suaranya terdengar getir, aku yakin suara itu suara menahan tangis. Kulihat ekspresi wajahnya, namun tidak mampu kulihat, karena mataku pun penuh dengan air mata. “mana ibu” tanyaku mencari sekeliling. Kulihat ibu berada dibelakang rumah sedang berdiri seorang diri, ibu tidak melihat langsung jasad Abah saat dikebumikan secara dekat, mungkin takut tidak kuat melihat ekspetasi yang sesungguhnya, yaitu melihat teman hidupnya dari usia 13 tahun sampai sekarang usia ibu 55 tahun diantarkan kedalam kubur.
Setumpuk demi setumpuk tanah menutup jasad Abah, dari sinilah tangisku pecah, “maaf bah bukan berarti aku tidak sayang Abah”,kataku dalam hati, saat menangis sebenarnya aku teringat pesan orang – orang yang lebih tua dariku, mereka berkata, “jangan menangisi kepergian orang tua yang meninggal”. Namun bagaimana lagi, aku benar- benar tidak kuat lagi menahan tangis yang sudah kutahan sejak Abah menghembuskan nafas terakhir kalinya. Pamanku yang menyadari kehadiranku segera membopongku ke rumah, kebetulan makam Abah berada di belakang rumah bersama kedua makam orang tua kandungnya.
“Langsung mulai aja giliran ngajinya, jadwal siapa sekarang yang ngaji” kaka pertamaku mengomandokan orang- orang yang disuruhnya untuk mengaji dimakam Abah selam tujuh hari tujuh malam. Dimakam tersebut dipasang lampu dan juga tenda untuk berlangsungnya mengaji. Setiap orang memiliki jatah mengaji setiap harinya dua jam, jadi selama seminggu kaka pertamaku menyewa santri, atau laki- laki yang dirasa bagus tilawah qurannya sekitar 12 orang. Disekitar kuburan Abah tersedia Air minum dan juga terlihat bekas bakar- bakar ikan disetirannya.
“Gak merasa takut malam- malam juga dikuburan Abah haji mah”suara salah seorang tetanggaku yang mendapatkan giliran ngaji dimalam hari terdengar olehku.
“Syukurlah” kataku lega.
Kemudian aku beranjak dari ruang depan menuju ke ruang tengah, Kulihat Ibu yang selalu percaya dengan kata PAMALI memarahi kaka keduaku dan juga istrinya, saat itu waktu mahgrib sebentar lagi hanya sekitar lima menitan, istri kaka keduaku hendak memandikan anaknya, Humaira Zeina Salsabila, yang baru berusia satu tahunan.
“Mau ngapain Fidz, jangan mandi maghrib- maghrib, Abah gak suka lihat orang yang mandi waktu maghrib”.
Kakaku dan juga istrinya tidak menghiraukan suara ibu, baginya dan bagiku juga kata pamali itu sesuatu yang dipakai oleh orang tua jaman dahulu, mana ada anak muda jaman sekarang percaya kata pamali, apalagi disangkut pautkan dengan orang yang sudah meninggal, “hanya mitos belaka”.
Senja berganti menjadi malam hari , dan malam ini merupakan malam pertama Tahlilan yang diselenggaran setelah kematian Abah. Semua masyarakat setempat datang berduyun – duyun kerumahku tanpa harus ada aba- aba terlebih dahulu. Karena setiap ada masyarakat yang meninggal, tahlilan merupakan hal yang biasa dilaksanakan di kampung kelahiranku ini.
“Kenapa Teh Inna?” tanya ibu pada kaka iparku yang kedua.
“Gak tau ini biasanya gak pernah nangis kaya gini” jawabnya seraya menggendong Zeina Anaknya.
Teh diah kaka ipar pertamaku setelah melihat Zeina menangis segera mengambil gelas dan juga mengisinya dengan air mineral, kemudian ia membisikan sesuatu pada suaminya, kaka pertamaku. Kaka pertamaku segera duduk dipojokan kamar dan menghadap kiblat, “hmmm... pengganti Abah”, ucapku dalam hati. Biasanya, setiap tetangga atau keluarga yang sakit karena PAMALI tersebut, atau karena apalah itu, abahlah yang memberikan minum yang telah dibacakan doa- doa. Yang pasti doa- doa yang dibacakan tersebut bukan seperti mantra pada umumnya atau yang digunakan dukun saat pengobatan.
“Makanya denger dikit apa kata- kata ibu tuh” omelku pada Hafidz setelah tangis Zeina reda. Ia hanya diam tidak menghiraukan ucapanku sedikitpun. Memang, aku dan Hafidz kakaku itu kadang sedikit tidak percaya apa yang di PAMALI kan oleh ibu dan sesuatu yang dipercayai olehnya, seperti contoh kecilnya ialah saat aku dan kaka- kakaku hendak ke pesantren, ibuku selalu menyuruh, “sana ke kuburan Abah juman( kakek dari ibu), bilang mau berangkat lagi gitu ke pesantren, minta doanya sana”. Aku yang memiliki persepsi berbeda dengan ibu, bahwa menurutku meminta do’a ke kuburan merupakan hal yang dilarang oleh Allah, saat itu aku segera berangkat ke kuburan kakek ataupun nenek, setelah dikuburan, aku hanya membacakan bacaan ziarah kubur pada umumnya tanpa meminta do’a atau pun meminta izin pada kakek nenek yang telah meninggal.
“Udah minta do’anya?”
“Udah bu tadi” jawabku bohong pada ibu. Pembohongan tersebut biasa kulakukan saat ibu menyuruhku untuk pergi ke kuburan, “gak apa- apa lah dari pada harus debat kusir dengan ibu” pikirku dalam hati. Hal yang biasa kulakukan tersebut sama Seperti saat ini, yaitu hari ke delapan setelah kepergian Abah, hari ini hari minggu, yang berarti aku sudah seminggu Absen di kampus dan harus kembali lagi ke serang.
“Ia tadi udah bu” kataku bohong lagi padanya. Saat ini Ibu menyuruhku meminta izin untuk berangkat lagi ke serang pada kuburan Abah dan menyuruhnya meminta do’a. Setelah pulang dari kuburan Abah, segera kubergegas untuk pergi ke tempat dimana Bus berada dengan diantar oleh paman dari ibu. Sebelum menaiki motor yang dikendarai oleh paman, disinilah puncak kesedihanku benar- benar terasa.
“Udah gak ada abah” lirihku dalam hati. Biasanya, saat hendak berangkat ke pesantren selama setahun terakhir ini, aku selalu pamit pada abah yang sedang berbaring dan menangisi kepergianku ke pesantren, kulihat ruang tengah, tidak ada siapa- siapa disana, hanya ada kasur kosong yang biasa abah gunakan selama setahun dalam sakitnya.
“Huh” nafasku berhembus pelan. kulihat ibu yang duduk dibangku teras, segera aku pamit padanya dan tidak lupa meminta do’a untuk kesuksesanku dalam memuntut ilmu dan juga keberkahan hidup seperti keberkahan yang diharapkan oleh semua orang.
“Yang bener kuliahnya ya, jangan main- main ya sekarang mah kuliahnya, sekarang kan udah gak ada Abah” pesan ibu padaku saat aku mencium telapak tangannya. Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan nasihat ibu, segera kubergegas menaiki motor dan meluncur ke jalan raya.
Jalanan siang hari sepi, tidak seperti biasanya kemacetan yang kutemukan disepanjang perjalanan sobang, pandeglang- terminal pakupatan.
“Alhamdulilah ya sesuatu”, hatiku lega saat merasakan bebas dari macetnya jalan raya yang faktor utamanya ialah karena pembangunan jalan. “Hmmmm kematian” gumamku kemudian. Semua janin belum tentu dilahirkan olehnya, namun semua manusia pasti dikembalikan padanya. Siapa manusia yang tidak akan meraskan kematian, dokter yang menangani pasien pun akan merasakan sakitnya sakaratul maut, apalagi aku yang hanya seorang Mahasiswa dengan nilai pelajaran sains saat SMP dulu bisa dikategorikan dibawah rata- rata. Renungan hati saat diperjalanan dari rumah ke serang sama halnya dengan renungan yang kurasakan saat ini, saat ini malam hari semakin larut hingga aku lupa akan esok pagi jadwal setoran menunggu, “kayaknya absen lagi deh besok pagi setorannya” keluhku kesal pada diri sendiri, insomnia terkadang memang menemaniku untuk terus berlatih menulis dan juga memperkaya imajinasi yang keluar dari diri sendiri, namun insomnia pun bisa juga menggangguku untuk bangun pagi dan juga kegiatan setelah subuh yang ada di pondok yang saat ini kutempati.
Foto : kuburan Abah
Terima kasih untuk semua orang yang telah membaca kisahku ini, yang mungkin kisah ini tidak bisa kuceritakan secara langsung pada siapapun itu, baik sahabat, teman, guru, saudara, keluarga, atau mungkin pacar (hehehe kayak punya pacar aja ya), tapi tulisan ini serius hanya bisa kutuliskan di papan blog yang sangat sederhana ini. Sekali lagi terima kasih semua...........
salam hangat dari aku, penulis amatiran
see you next time.
Foto : jadwal ngaji selama 7 hari 7 malam.
Baca juga ya tentang musibah yang menyebabkan Abah sakit selama setahun
https://rohaasajim.blogspot.com/2019/03/saat-musibah-datang.html
https://rohaasajim.blogspot.com/2019/03/saat-musibah-datang.html