Selasa, 25 Juni 2019

Kenapa Menghafal Quran?



Kenapa menghafal Quran? Itulah pertanyaan yang muncul pada benakku saat aku mereset Hand phone dan Laptop miliku yang sudah kubeli sejak mei 2016. Untuk apa ya menghafal? Pertanyaan itu seolah muncul kembali di kepala, aku segera mengusir pertanyaan aneh yang terkadang, pertanyaan tersebut sudah ada sejak aku mulai mengenal menghafal Al- Quran.
Mengenal Quran tentunya sudah dari kecil, aku terlahir dari keluarga yang mengerti Al- Quran dan memahami kewajiban islam.

Saat kecil, aku sudah terbiasa dengan banyak orang yang mempelajari Al- Quran di rumahku sendiri. Dan kakaku yang pertama pernah mengajarkan aku nada- nada indah dalam membaca Al- Quran (Qori). Sehingga, dengan keadaan lingkungan yang seperti itu, kebiasaanku untuk mempelajari dan membaca Al- Quran pun seolah berjalan dengan semestinya.

Lalu sejak kapan aku  menghafal  Quran?
Ketidak sengajaan itulah awal mula aku menghafal Al- Quran. Saat masuk ke Dunia Smp/ Mts, aku sekolah di salah satu pesantren milik Alumni pondok terbesar di indonesia, Gontor. Tepatnya di kecamatan mandalawangi, pandeglang, Banten, itu dia Pesantren Modern Daar El- Falaah. Di SMP itulah aku belum mengenal Menghafal Quran. Bahkan, saat ada persyaratan dari pihak pesantren saat hendak perpulangan semesteran, yaitu menghafal surat- surat pilihan. Tau tidak kalian, yang aku kerjakan agar bisa liburan bukan menyicil hafalan. Tapi mentraktir teman yang mau menyetor hafalan untuk mendapatkan tanda tangan ustadz pada kertas setoran miliku. Dahsyat bukan? Tapi jangan dicontoh ya👧.

Namanya juga ketidak sengajaan. Bermula dari sinilah, Saat itu entah kenapa hati kecilku ingin sekali masuk Aliyah/ SMA yang ada di kabupaten Kuningan, jawa barat. ya, itu dia Pondok Pesantren Husnul Khotimah. Mungkin alasan aku berniatan masuk Husnul Khotimah salah satunya karena melihat Kaka keduaku yang juga Alumni Husnul Khotimah. Entahlah, jika kupikir- pikir lagi kenapa aku mau masuk Husnul Khotimah, aku sendiri tidak bisa menjawabnya. Mungkin sebuah takdir dari Allah agar aku berusaha menjadi manusia yang kuat, mandiri, dan juga berwawasan islami, eaaaa.

Kakaku bertanya "sudah punya berapa juz hafalannya," dengan santainya aku menjawab, "Juz amma aja belum selesai,"

Dua hari sebelum menjelang tes masuk Husnul Khotimah, kakaku menjemputku ke Daar el Falaah. Di dalam angkot, sepanjang perjalanan dari Madalawangi ke serang aku disarankan untuk menghafal surat- surat yang belum kuhafal. Hmmm...., diam ketika di angkot aja mabok, apalagi ngafalin Al- Quran. kontan, detik itu pun kepalaku pusing dan juga mual.

Sore harinya, aku tidak segera pergi ke jakarta, karna tes masuk Husnul khotimah aku memilihnya di jakarta, tepatnya di SMA al- azhar jakarta. Oya, sebelumnya aku mau kasih tahu, bahwa tes masuk Husnul khotimah ada di beberapa daerah di indonesia, bahkan di manca negara. Sore hari aku masih berada di serang, dan malam harinya baru berangkat bersama paman, sepupu, dan kakaku dengan bis jurusan serang tanggerang. Selama perjalanan serang - tanggerang, lagi dan lagi, kakaku menghimbauku untuk menghafal juz Amma yang belum tuntas kuhafalkan.

Sesampainya di rumah paman yang berada di tanggerang, aku akhirnya terhindar dari hafalan Quran yang menurutku asing saat itu, segera kupejamkan mataku agar tidak dianjurkan untuk menghafal lagi.

Pagi harinya tes pun dimulai. Saat itu aku berada di kursi terdepan. Hmmmm...., "Soalnya bikin mual semua," kataku saat ditanya oleh paman setelah keluar dari ruangan tes.

"Gimana, mau coba tes langsung Aliyah gak(tes bahasa Arab)?" mataku melotot saat pertanyaan itu keluar dari mulut kakaku. "Soal matematika aja bikin mual, apalagi bahasa arab" gerutuku dalam hati. Tapi karena aku tipe adik yang penurut (hehehe), aku akhirnya duduk manis di barisan ribuan manusia yang ahli bahasa arab. Setelah itu, tes Qur'an pun berlangsung. Tau tidak kawan..., di depan ustadz yang mengetesku, aku hanya bisa tersenyum manis semanis senyumku yang sudah ada sejak lahir. Saat itu yang kujawab hanya dua dari lima pertanyaan yang ada. Huh, sebuah pengalaman yang masih terbayang sampai sekarang.

  Foto : kls perogram keagamaan angkatan 19 Putri


Hmmmm...., abaikan saja pengalaman tes masuk Aliyahku saat itu. Karena kisahku di Husnul khotimah lebih menarik dari yang dikira. Aku masuk Husnul Khotimah bukan karena kepintaranku dalam tes saat enam bulan yang lalu, aku yakin itu, aku percaya diterimanya aku di Husnul Khotimah karena kakaku yang pintar saat menjadi santri di sana. Huh, kaka beradik juga hanya sama dalam satu rahim saja, tapi potensi dan sifat, seperti Langit dan bumi perbedaannya. .....

Empat tahun aku di Husnul khotimah. Selama satu tahun masa pengenalan pesantren, bahasa, dan juga hafalan Quran, aku tidak mengerti apa yang dirancang oleh lembaga yang ku masuki itu. Diwajibkan bergamis, menggunakan kaos kaki saat keluar area putri, dan juga berkerudung selebar bahu, serta santrinya berlomba- lomba dalam menghafal Quran. Hanya juz Amma yang kuhafalkan saat masa pengenalan satu tahun tersebut (I'dad). Tidak lebih dan tidak kurang.

Saat memasuki kelas Aliyah, aku memilih jurusan Keagamaan. di Husnul khotimah, ada tiga jurusan untuk tingkat Aliyah, Keagamaan, Ipa, dan juga Ips. Aku memilih jurusan tersebut bukan karena aku hebat bahasa arab atau mahir dalam bidang agama. Tapi, jika dilihat dari ketiga jurusan yang ada, hanya jurusan itu yang lumayan kuminati pelajarannya. ingat, hanya lumayan bukan ahlinya.

Tiga tahun dibangku Aliyah, aku selalu istiqomah memilih kelas reguler dalam kategori menghafal Quran. di Husnul khotimah, ada tiga kategori dalam menghafal Al- Quran, pertama kategori Reguler, dimana para santri jika ingin lulus Aliyah atau hendak mengambil ijazah harus menyetorkan Lima juz Al- quran dan juga ujian Qurannya, baik itu ujian dengan metode menyetorkan langsung lima juz Al- Quran dan juga meneruskan hafalan yang dibimbing oleh pengujinya, yang kedua yaitu kategori takhosus, kategori ini kebanyakan yang hafal 15 juz keatas saat diwisuda, keren kan. dan yang ketiga, kategori yang baru ada sejak aku naik ke kelas 12, yaitu super takhosus, dimana kategori ini diwajibkan hafal 30 juz saat diwisuda, dan kategori ini memakai selempang saat diwisuda dengan tulisan, "Santri Hafidz/Hafidzah," istimewa bukan?

Iya sangat istimewa, aku yang baru bisa ujian lima juz Al- Quran dari belakang hanya menelan ludah, mungkin kalian bertanya, Apa ada rasa iri dibenak aku? Ya pasti ada, iri dalam kebaikan. Tapi aku mencoba menghibur hati dengan bergumam... "hmmm, udah biasa jadi orang yang selalu dibelakang".

Itulah alasan kenapa aku menghafal Quran, yaitu ketidak sengajaan diiringi dengan keterpaksaan lingkungan yang mengharuskan aku menghafalnya. Jika tidak dipaksa, mana mungkin aku mau menghafal Quran. Malas, susah, enak maksiat, dan juga keadaan zaman yang semakin hari semakin mengikis keimanan seseorang.

Kalau tidak ada ketidak sengajaan, ya tidak akan ada cerita kenapa aku menghafal Al- Quran.

Kalau tidak ada paksaan untuk menghafal Quran, ya tidak akan banyak penghafal Al- Quran yang tersebar di muka bumi.

Kalau tidak ada penghafal Quran, ya Sudah, mau dibawa kemana Agama islam ini.

Salam hangat dari aku penulis amatiran.

See you next time.



Minggu, 23 Juni 2019

Artikel terbit di kabarpandeglang.com ?




Kebiasaan anak menular dari kebiasaan orang tua,Itulah judul artikel pertama aku yang diterbitin di media sosial  selain di akun blogku. walaupun masih kabar pandeglang sih, tapi gak apa apa, namanya juga penulis amatiran. Udah diterbitin aja syukur.

Aku nerbitin tulisan tersebut awal mulanya karena tugas mata kuliah Akademik Writting. Mata kuliah yang bikin aku harus berangkat pagi- pagi setiap harinya. Jika terlambat masuk kelas, ya alamat tidak diabsen dan tidak dianjurkan ikut perkuliahan. Sayang banget dong kalau telat.

Terbit di kabar pandeglang, mungkin bagi kalian itu hal yang biasa, tapi bagiku, itu hal yang harus disyukuri dengan sepenuh hati. Karena jujur, aku belum bisa membuat artikel keren seperti orang- orang pada umumnya. Aku hanya biasa menulis cerpen atau pun cerbung setiap kali belajar menulis. Ingat, aku masih belajar, jika banyak salah ya wajar.

Artikel tersebut yang aku terbitkan di kabar pandeglang merupakan artikel kedua yang aku buat setelah aku ditoak oleh media lain. Namanya juga penulis amatiran, harus menerima apapun itu kritik saran dan juga cemoohan.

"Tugas Uas mata kuliah akademik Wriiting harus membuat Artikel hingga terbit di media cetak," itulah perintah salah satu dosen yang mengajar di kelasku. Mana ada satu kelas diterbitin oleh berbagai media cetak, susah. Karena tulisan, artikel, puisi, ataupun sejenisnya sangat susah untuk terbit di media cetak. Apalagi yang menulis bukan orang ahli, Mahasiswa sastra yang biasa dengan tulis menulis pun merasa susah, lah ini mahasiswa PAi?

Tapi Alhamdulilah, kebijakan dosen yang mengampu mata pelajaran tersebut memberikan keringanan pada mahasiswanya, yaitu boleh terbit di media sosial.

Aku menulis artikel tersebut sehari setelah tanda tangan hari Uas berlangsung, alhamdulilah cepat juga itu tulisan terbitnya, jika harus menunggu berminggu- minggu berarti aku harus menetap di serang sampai artikel terbit, lama amat.

Mungkin kalian berpikir, tugas UAS membuat Artikel hingga terbit di media cetak atau sosial hal yang menyulitkan mahasiswa. Memang sih menyulitkan, aku pun merasakan hal itu, tapi dibalik itu semua ada pelajaran penting yang sangat berharga agar mahasiswa siap dalam segala bidang nantinya di masyarakat kelak.

Bukan hanya menerbitkan artikel, tugas mata kuliah tersebut ada Seminar Proposal, Seminar Skripsi, Seminar nasional, dan seminar internasional. Dan alhamdulilah aku sudah melewati tugas tersebut.

Akhir kata, terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah akademik writting yang telah memberikan tugas-  tugas  berharga sehingga aku bisa belajar hal- hal yang belum pernah aku ketahui sebelumnya.


Baca juga ya di kabar pandeglang ⬇
Kebiasaan Anak Menular dari Kebiasaan Orang Tua:

KABARPANDEGLANG.COM -


Sabtu, 22 Juni 2019

Setumpuk Khayalan


Menjadi penulis memang impianku sejak dulu, namun kadang Impian tidak sejalan dengan apa yang sering dilakukan setiap hari. Malas, mengalihkan pekerjaan kepekerjaan yang lainnya, dan terkadang lebih banyak dihabiskan tidur maupun jalan- jalan dari pada Menulis.


“ Roha ayo ngaji yuk” Suara kaka seniorku di pesantren mulai beraksi setiap selesai sholat Isya. Kulangkahkan kaki untuk segera berangkat ke Masjid agar tidak terkena Imbas yang panjang dari Seorang senior yang ada di pesantren yang kutempati sekarang.

Sesampainya di Masjid kulihat sekitarnya belum ada siapa- siapa yang datang. Pondok enam Baiturohim ketika datang lebih awal selalu belum ada Orang di Masjid, namun ketika orang lain yang datang lebih awal Pondok enam selalu terlambat atau orang lain menyebutnya dengan “Jam karet”.

“Mana nih yang lainnya” Suara Desi lantang menanyakan pada ketua Pondok umum. Pondok enam memang banyaknya semester dua atau bisa dikatakan anak baru semua, namun keberaniannya mengalahkan kebanyakan santri pada umumnya. Tidak takut dan tidak juga mencari muka di depan Ustadz maupun Senior yang ada.  Pondok enam memang apa adanya, malas ya terlihat malas, nakal ya terlihat nakal, rajin ya terlihat rajin, tidak kebanyakan santri yang banyak mencari muka didepan Publik namun kenyataannya lebih sadis dari yang dikira.

“Burung- burung” Suara Rani mengagetkanku dari lamunan.

“Tolong- tolong” Sontak suaraku meninggi saat orang- orang menunjuk ke arah punggungku. Akupun berdiri dan segera mengibas- ngibas kerudung, namun Burung greja tetap saja menempel pada kerudungku.

“Ini dia” Ucap kak Tama sembari menyodorkan burung greja yang telah ia ambil dari kerudungku. Aku segera mengambilnya dan melepaskannya untuk terbang ke udara.

“Ih aneh banget nih orang” Omelan Dila menyambar kearahku setelah aku melepaskan burung greja tersebut.

“Untuk apa dipelihara? Toh dia pun makhluk hidup yang harus mendapatkan kebebasan  tanpa adanya kekangan dan juga paksaan” Jawabku ke arah Dila.

Satu persatu gosip pun Kami bahas di depan teras Masjid, pekerjaan kami saat semua santri belum datang ya bergosip ria atau pun menceritalan masa lalu yang jarang sekali orang lain alami.


Ini dia ceritanya....

Suatu hari

“Jni nih ada tiga anak burung yang saya dapat dari kebun” Suara paman datang dari arah pintu menuju kearahku ,Iha, dan Rohmah.  Aku segera melihat apa yang paman sodorkan dan  mengambil tiga anak burung yang telah nampak dihadapanku. Iha yang umurnya tertua di antara kami segera mengambil anak  burung yang besar, aku yang tertua kedua mengambil yang sedang, dan Rohmah yang paling muda mendapatkan anak burung yang kecil.

“Ini makannya apa ya?” tanyaku pada paman.

“Beras dipotong- potong kecil” jawab paman asal.Segera kuambil sesendok beras dan tidak lupa kuambil segelas air untuk burung minum.

“Buka mulutnya buka” ucapku seraya menyodorkan potongan beras ke mulut burung. Anak burung yang malang itu pun tidak bisa berbuat apa- apa, lima menit sekali kami bertiga menyodorkan makanan ke arah burung, Diberikan tempat tidur, dimandikan layaknya manusia mandi dengan memberikannya sabun baby dan juga samponya.

“Gimana kalau abis ini kita beri pewarna makanan” pinta salah satu dari kami. Kuambil sepuhan (pewarna makanan bubuk) tiga warna, hijau, merah, dan juga oranye.

“Lucu kan punyaku, iha lihat” teriaku pada iha. Ia juga melakukan hal yang sama dengan memberikannya warna hijau pada sayap burung.

Beberapa jam kemudian.

“Loh kok burung miliku diem aja” ucapku pada rohmah.

“Bangun dong burung bangun, belum waktunya kamu tidur tau” omelku pada burung.

“Ayo jagoan kecilku bangun” suaraku semakin lantang seraya menggerak- gerakan sayap burung yang masih basah oleh sepuhan. Karena anak burung miliku tidak segera bangun setelah kugerak- gerakan sayapnya, maka akupun segera menjemurnya di bawah matahari.

“Mungkin dia kedinginaan” kataku dalam hati. Beberapa menit kemudian pamanku datang dari dapur.

“Yah, inimah mati” suara paman mengagetkanku saat itu juga. Sedih karena anak burung peliharaanku mati di tempat yang sama, dan rasa iri pada Iha dan Rohmah karena burung kecil miliknya masih bertahan hidup walaupun gerakannya tidak selincah ketika pertama kali datang dari kebun.

Siang berganti sore dan begitupun seterusnya, hari- hariku diisi dengan bermain, berbicara sendiri, dan juga menyun semua ide- ide sederhana yang kutuangkan lewat bermain boneka, masak- masakan dan juga sekolah- sekolahan. Setiap sore hari selalu datang dua tetangga yang umurnya jauh lebih muda dariku untuk mengikuti kegiatan apapun itu  yang tertuang dari imajinasiku.

“Ini bapak Budi”

“Ini bapak Budi” ucap Tia dan Salsa yang mengikuti perkataanku. Itulah yang kukerjakan saat libur Madrasah Ibtidaiyah di sore hari, ya  menjadi guru untuk tetangga yang lebih muda atau guru untuk koleksi boneka- bonekaku yang ada.

“Apakah kamu sudah mengerti nak?” tanyaku pada boneka beruang.

“Baiklah jika kamu sudah mengerti kita lanjutkan kepembahasan selanjutnya” ucapku  menegaskan.

Malam semakin larut namun santri yang ada di Masjid Baiturohim masih juga tidak bertambah jumlahnya, jam sembilan malam biasanya santri sudah banyak yang berdatangan di sekitar masjid, tapi kali ini tidak, hanya santri Pondok enam Baiturohimlah yang datang ke Masjid.

“Kita rajin aja gak ada kajian, pas kita males ada kajian, serba salah ya” ucap nunu dengan gayanya yang tidak enak dipandang mata. Tapi walaupun semuanya kesal dengan keadaan, tidak berarti kami segera pulang ke Pondok, namun kami melanjutkan kembali cerita masing- masing diri saat kecil dulu.

“Kalian tau bepe gak” tanyaku mengawali tema cerita  selanjutnya.

“Aku tau aku tau, Favorite kalian bepe yang mana?” ucap nunu menanyakan pada santri yang ada.

“Lingling, yang kecil trus rambutnya merah” jawabku dengan lantang. Ya lingling merupakan bepe yang paling aku favoritkan saat kecil dulu, peran lingling dalam imajinasiku, gadis kecil yang selalu dibuly oleh kaka- kakanya, karena cintanya aku terhadap lingling, sudah puluhan kali aku membeli bepe tersebut dan terkadang  juga aku menyambungkan tubuh dan kepalanya yang potong dengan tiga butir nasi yang kutempelkan agar menyatu kembali.

“Kalian pernah masak- masakan pake tanah gak sih”  tanya nanda mengawali percakapan yang ada.

“Pernah dong, pokoknya peralatan masaknya kan terbuat dari plastik” ucap Dila menambahkan.

“Zaman kita tuh masa kecil yang menyenangkan, gak kaya sekarang, berubah 180° dunia anak- anaknya” ucapku kemudian.

Dunia 90 – an memang masa- masa indah, dimana anak kecil berperan pun layaknya anak kecil, penuh dengan khayalan yang sederhana namun sangat bermakna, penuh dengan imajinasi yang dihadirkan melalui alam sekitar bukan dengan sosial media yang merusak dunia pendidikan.

Kuterka kembali masa- masa kecil dulu, masih terbayang bagaimana perasaanku saat anak burung pipit mati setelah kumandikan dan kuberi warna dengan pewarna makanan.

“Kok bengong, mikirin apa sih kamu ha” tanya teman sebangkuku saat jam pelajaran pertama di SDN Kutamekar 2.

“Kasihan anak burung itu” jawabku asal.

“Oh yang kemarin itu kan, aku juga liat kok kamu kasih warna kan anak burungnya?” tanyanya lagi.

“Kok kamu tau sih” ucapku curiga padanya.

“ya taulah, kan kemaren aku belanja di warungmu, trus gak sengaja deh liat kalian bertiga didepan teras kamu loh” suaranya dan ekspresinya yang kulihat sangat tidak menyenangkan.

“Kalau iya kenapa?” tanyaku membentaknya.
“Santai dong tuan puuteeeeeri” ucapnya seraya pergi dari hadapanku.

Jam berputar dengan ketentuan waktunya, jam istirahat selesai dan selanjutnya jam pelajaran dimulai. Kali ini pelajaran Bahasa Indonesia dan diajar oleh Bu Eem Nurhayati. Bu Eem adalah guru favoriteku di SDN yang pernah kutempati, dimana Bu Eem adalah guru yang paling sabar menghadapi kenakalan teman- temanku yang laki- laki, dan sabar saat menghadapi Siswa siswi yang kurang dalam pemahaman materi yang diajarinya.

“Jangan lupa ya PR nya dikerjakan” pinta Bu Eem padaku dan teman- temanku. Jam pelajaran berakhir, namun kali ini aku malas untuk beranjak dari kelas, sampai sepupuku yang sudah menginjak kelas lima Sekolah Dasar datang menghampiriku.

“Mau pulang sama siapa?” tanyanya padaku.

“Jalan kaki bareng temen- temen” jawabku asal.

“Loh itu basah kenapa?” tanyanya heran padaku setelah melihat rok merahku basah kuyup oleh ompol. Itulah pengalamanku saat kelas satu SD, pernah tiga kali buang air kecil di dalam kelas, setiap kaka sepupuku menanyakan padaku, aku selalu menjawabnya “tidak tau”. Namanya juga anak kecil, dimana saat itu sifatku pemalu dan super introvet, aku tidak pernah berbaur dengan seumuranku, baik itu untuk bermain karet, bermain kelereng, ataupun bermain boneka dan juga masak- masakan. Hanya di dalam kelas aku memiliki teman bermain, itu pun karena aku Paling menonjol baik itu dalam belajar ataupun rapihnya pakaian.

“Oh jadi kamu pernah ngompol di dalam kelas ha” kata Dila menoleh padaku.

“Iya dong”jawabku bangga.

“Iuh, pernah jorok juga ya lu ha” ungkap Dila kemudian.

Malam begitu larut, hingga tidak terasa waktu menunjukan pukul 11 malam. Aku dan santri baiturohim lainnya segera beranjak untuk pulang ke pondok masing- masing.

Sesampainya di dalam kamar, tiba- tiba mataku susah untuk memejamkan mata. Pikiranku masih terbayang pada masa kecil yang memalukan mata. Pernah suatu hari, saat ibuku menyuruh untuk solat duhur, aku hanya mengambil wudhu, mengambil mukena yang ada di ruang keluarga, lalu masuk ke dalam kamar. Sesampainya di dalam kamar, yang kulakukan bukanlah solat duhur, tapi hanya diam mematung, dan terus terdiam.

“kira- kira udah sepuluh menitan belum ya” pikirku dalam hati. Itulah yang kulakukan saat kecil ketika ibuku menyuruh solat.

Hmmm....

“Lucu ya” getirku dalam hati. Kulirik jam menunjukan ke angka 1 dini hari, semakin malam mataku terbuka, semakin malam juga mataku untuk terpejam. Kubuka laptop yang ada di atas lemariku, kutulis kata demi kata kisah- kisahku yang belum tuntas dituliskan di halaman blog pribadiku.

Setelah selesai kutulis, kulirik jam telah menunjukan pukul 2 dini hari.

“selamat istirahat mata, semoga ribuan mata yang membaca tulisan ini tidak pernah bosan dengan suguhan tulisan ini yang sudah lama membosankan mata”

See you next time....





Jumat, 21 Juni 2019

Aku Ini Siapa (Puisi)

Aku ini siapa
Sudah lama ingin meneguk kebebasan

Memeluk dunia yang nyaman

Menuangkan hal baru yang dirindukan


Aku Ini siapa

Anak pemberontak, nakal, dan merasa serba bisa

Tidak berpikir itu baik atau sebaliknya

yang terpenting bahagia

Bukan dituntut atau ikut gaya orang dengan larut

Aku ini siapa

Katanya mahasiswa, namun hanya kuliah tiga semester saja

Masuk pesantren seperti masuk bui atau penjara

Goyah, tidak punya pendirian, dan juga masa depan

Aku ini siapa

Tetangga dan kerabat datang saling hujat dan saling hina

Bukan untuk siapa- siapa

Akulah dalang dari semuanya

Aku ini siapa

Hanya anak remaja yang punya satu harapan

Bisa duduk di bangku perkuliahan dan juga merasakan kenyamanan

Bukan sekedar gengsi, cari sensasi, dan juga kuantitas tinggi

Aku ini siapa

Bahasa Inggris Nilai Ujian Nasional standar

Nilai Matematika jauh dibawah standar

Ditanya bahasa arab tidak bisa jawab

Ditanya Kimia dan fisika, lebih tidak bisa menjawab

Aku ini siapa

Uang masih Minta

Rumah belum punya

Kendaraan sendiri belum ada

Apalagi pekerjaan, bisa kerja apa

Aku ini siapa





Nb : Tulisan ini ditulis pada tanggal 20 juni 2017, di Legoso, Ciputat timur, tanggerang selatan, Banten. 




Tidak Sekedar Cerita

1 Muharam

 Apa yang kamu ketahui tentang 1 Muharam. Tahun baru Islam? Atau apa ? Makna 1 Muharam bagi semua umat Islam merupakan Tahun Baru Islam atau...